Menurut para ahli sejarah CANDI RATU BOKO memiliki multi fungsi yang terdiri
dari beberapa komponen, yakni benteng keraton (istana) dan gua. Lokasi
Keraton Ratu Boko dapat dicapai dari Yogyakarta melalui jalan raya
Yogyakarta-Solo, kurang lebih pada Km 17 atau pertigaan Prambanan
berbelok ke kanan sejauh 3 Km.
Kompleks Situs Istana atau Keraton Ratu Boko berada di puncak bukit
dengan ketinggian sekitar 196 meter atau tepatnya 195, 97 meter di atas
permukaan laut menempati areal seluas 250.000 m2. Keraton Ratu Boko
terletak di Bukit Boko, sekitar 19 kilometer ke arah timur dari kota
Yogyakarta (menuju ke arah Wonosari), dari arah barat kota Solo sekitar
50 kilometer dan sekitar 3 kilometer dari Candi Prambanan ke arah
selatan. Kompleks Ratu Boko memiliki keunikan dan daya tarik tersendiri.
Karena lokasinya berada di dataran tinggi, maka dari sini terlihat
pemandangan yang memukau.
Di arah utara Candi Prambanan dan Candi
Kalasan dengan latar belakang pemandangan Gunung Merapi dengan suasana
pedesaan dengan sawah menghijau di sekelilingnya. Selain itu, arah
selatan, bila cuaca cerah, di kejauhan samar-samar dapat terlihat Pantai
Selatan.
Keraton Ratu Boko hingga sekarang masih menjadi misteri yang belum
dapat dijelaskan kapan dan oleh siapa nama tersebut diberikan. Kata
Keraton berasal dari kata Ke-Ratu-an yang artinya istana atau tempat
tinggal ratu atau berarti juga raja, sedangkan Boko berarti bangau
(burung-). Hal ini masih menjadi pertanyaan siapa sebenarnya Raja Bangau
tersebut, apakah penguasa pada zaman itu atau nama burung dalam arti Ratoe Boko.
Istana Ratu Boko memiliki keunikan dibanding peninggalan sejarah
lainnya. Jika bangunan lain umumnya berupa candi atau kuil, maka sesuai
namanya, istana atau keraton ini menunjukkan ciri-ciri sebagai tempat
tinggal. Hal itu terlihat dari adanya sisa bangunan di kompleks ini
berupa tiang-tiang pemancang meski kini hanya tinggal batur-batur dari
batu andesit, mengindikasikan bahwa dahulu terdapat bangunan yang
berdiri di atasnya terbuat dari bahan kayu. Selain itu terdapat pula
tanah ngarai yang luas dan subur di sebelah selatan untuk daerah
pertanian dan di Bukit Boko terdapat kolam-kolam sebagai tandon
penampung air yang berukuran kecil hingga besar.
Dari Situs itu sendiri ditemukan bukti tertua yang berangka tahun 792
Masehi berupa Prasasti Abhayagiriwihara. Prasasti itu menyebutkan
seorang tokoh bernama Tejahpurnpane Panamkorono. Diperkirakan, dia
adalah Rakai Panangkaran yang disebut-sebut dalam Prasasti Kalasan tahun
779 Masehi, Prasati Mantyasih 907 Masehi, dan Prasasti Wanua Tengah III
tahun 908 Masehi. Rakai Panangkaran lah yang membangun candi Borobudur,
Candi Sewu, dan Candi Kalasan.
Meski demikian Situs Ratu Boko masih
diselimuti misteri. Belum diketahui kapan dibangun, oleh siapa, untuk
apa, dan sebagainya. Orang hanya memperkirakan itu sebuah bangunan
keraton.
Berbeda dengan bangunan lain dari masa klasik Jawa Tengah, Situs Ratu
Boko mempunyai karakter dan keistimewaan tersendiri. Tinggalan bangunan
masa klasik Jawa Tengah pada umumnya berupa candi (bangunan suci/kuil),
sedang peninggalan di Situs Ratu Boko menunjukkan tidak saja bangunan
suci (candi), tetapi juga bangunan-bangunan lain yang bersifat profan.
Sifat keprofanan tersebut ditunjukkan oleh adanya tinggalan yang
dahulunya merupakan bangunan hunian dengan tiang dan atap yang dibuat
dari bahan kayu , tetapi sekarang hanya tinggal bagian batur-baturnya
saja yang terbuat dari bahan batu. Di samping bangunan-bangunan yang
menunjukkan sifat sakral dan profan, di dalam Situs Ratu Boko ini juga
ditemukan jenis-jenis bangunan lain, yaitu berupa kolam dan gua.
Bangunan Keraton Boko merupakan benteng pertahanan Balaputradewa atau
Rakai Kayuwangi, putera bungsu Rakai Pikatan. Konon Rakai Kayuwangi
diserang oleh Rakai Walaing Puhuyaboni, cicit laki-laki Sanjaya yang
merasa lebih berhak atas tahta daripada Rakai Pikatan, karena Rakai
Pikatan hanyalah suami dari Pramodharwani, puteri mahkota Samarottungga
yang beragama Budha. Dalam pertempuran tersbut Rakai Walaing berhasil
dipukul mundur dan terpaksa mengungsi di atas perbukitan Ratu Boko dan
membuat benteng pertahanan di sana. Namun pada akhirnya Keraton Boko
dapat digempur dan diduduki Rakai Kayuwangi yang secara sengaja merusak
prasasti yang memuat silsilah Rakai Walaing, dengan menghilangkan bagian
yang memuat nama-nama ayah, kakek dan buyut Rakai Walaing.
Hal yang menarik di Keraton Ratu Boko, selain peninggalan Budha juga
ditemukan benda-benda arkeologis peninggalan Hindu seperti lingga, yoni,
arca durga, dan ganesha. Meski didirikan oleh seorang Budha, Keraton
Ratu Boko merupakan sebuah situs kombinasi antara Budha dan Hindu, ini
dapat dilihat dari bentuk-bentuk yang ada, yang biasanya terdapat pada
candi Budha, selain itu terdapat pula tiga candi kecil sebagai elemen
dari agama Hindu, dengan adanya Lingga dan Yoni, patung Dewi Durga, dan
Ganesha, serta lempengan emas yang bertuliskan “Om Rudra ya namah swaha”
sebagai bentuk pemujaan terhadap Dewa Rudra yang merupakan nama lain
Dewa Siwa.
Adanya unsur-unsur Hindu itu membuktikan adanya toleransi
umat beragama yang tercermin dalam karya arsitektural. Pada masa itu
Rakai Panangkaran yang merupakan pengikut Budha hidup berdampingan
dengan para pengikut Hindu.